Apakah boleh haji dengan berhutang ??????
Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman: “Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam” (QS. Ali Imran: 97).
Para ulama sepakat menyatakan bahwa kewajiban berhaji hanya
dibebankan kepada seseorang, baik laki-laki ataupun perempuan yang sudah
memiliki syarat “istitha’ah” atau kemampuan. Pengertian istitha’ah
secara sederhana adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi saw
ketika ditanya akan artinya, beliau menjelaskan: “Perbekalan dan
kendaraan” (HR. Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits hasan”). Dari hadits
ini tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan istitha’ah yaitu: Pertama,
perbekalan, artinya adalah perbekalan makanan, minuman, dan pakaian yang
mencukupi semenjak kepergiannya sampai kepulangannya. (Lihat I’anah
Al-Thalibin karya Abu Bakr al-Dimyathi: 2/281). Kedua, kendaraan,
artinya kendaraan layak yang diyakininya akan memberikan keselamatan,
baik dengan membeli maupun menyewa. (Lihat Al-Mughni karya Ibn Qudamah:
4/316).
Berhutang untuk menunaikan haji jika dilihat dari satu sisi
seolah-olah menunjukkan ketidakmampuan seseorang atau belum mempunyai
kelayakan dan perbekalan yang cukup untuk menunaikan ibadah haji. Namun
dari sisi yang lain, boleh jadi menunjukkan kemampuan, hanya saja
kemampuan itu memerlukan sedikit waktu, maka untuk mempercepat status
“mampu” ia melakukan pinjaman.
Jika hal tadi merupakan dua kemungkinannya, apakah seseorang
diharuskan untuk meminjam semata-mata untuk tujuan haji? Apalagi kalau
pembiayaan pinjaman tadi dari perbankan dan lembaga keuangan yang akan
menyebabkan pembiayaan yang lebih tinggi dari harga asal pembiayaan
haji?
Jawaban singkatnya tidak perlu dan bukan merupakan suatu prioritas.
Hal tersebut sesuai dengan jawaban yang diberikan Nabi saw ketika
ditanya oleh seorang sahabatnya Abdullah bin Abi Aufa: “Aku bertanya
kepada Nabi saw berkenaan seorang lelaki yang belum menunaikan haji,
apakah ia boleh meminjam uang untuk haji? Nabi saw menjawab: “Tidak”
(Musnad Al-Syafi’I: 1/109; Al-Umm: 2/116). Imam Syafi’I berkata setelah
itu: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan kemudahan dan kelebihan harta
yang menjadikannya dapat menunaikan ibadah haji tanpa melakukan
pinjaman, maka ketika itu dia dianggap tidak layak untuk pergi haji
(Lihat Al-Umm 2/116).
Islam tidak memberatkan kepada siapapun untuk bisa berangkat
menunaikan ibadah haji kecuali dia benar-benar telah memiliki kemampuan
dan bukan sesuatu yang dipaksakan sebelum tiba saatnya. Imam Ibn
Qudamah pernah mengatakan: “Dan hendaklah (perbekalan ini) adalah harta
berlebih dari yang dia perlukan untuk menafkahi keluarganya yang wajib
disediakannya semasa kepergiannya sampai kepulangannya. Hal itu
dikarenakan nafkah keluarga berkaitan dengan hak manusia dimana mereka
lebih membutuhkan dan hak mereka lebih diutamakan…Selain itu, hendaklah
perbekalannya dari harta berlebih sehingga dia mampu melunasi hutangnya
(Lihat Al-Mughni karya Ibn Qudamah: 4/317).
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata: “…Saya tidak sependapat jika
dia berhutang untuk berhaji, karena haji dalam keadaan ini tidak
diwajibkan atasnya, oleh sebab ini semestinya dia menerima keringanan
Allah dan keluasan rahmat-Nya, dan tidak membebani dirinya dengan hutang
yang dia tidak tahu apakah dia bisa membayarnya atau tidak? Mungkin dia
meninggal dan belum membayarnya akhirnya masih tersisa hitang tersebut
dalam tanggungannya”(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 21/93).
Namun demikian, jika hutang pinjaman itu tidak mengganggu keseluruhan
tanggung jawabnya menafkahi orang-orang yang berhak dinafkahi (seperti
anak dan isteri) karena ia mempunyai simpanan yang mencukupi atau harta
lain yang dia miliki (misalnya dalam bentuk properti atau lain-lain)
yang bisa dijual apabila diperlukan, maka dalam kondisi seperti ini
tindakan berhutang tadi boleh dilakukan sebagaimana ucapan Imam Syafi’i:
“Tetapi jika ia mempunyai harta yang banyak, ia boleh menjual
sebagiannya atau berhutang (karena yakin dapat membayar hutang yang
dipinjamnya)” (Al-Umm: 2/116).
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa seseorang yang masih
tersangkut dengan beban hutang tidak wajib untuk menunaikan haji. Para
ulama sependapat bahwa ‘bekal’ yang dimaksudkan oleh Nabi saw adalah
kelebihan harta berbanding tanggungan pokoknya, jusru hutangnya terhadap
individu perseorangan adalah termasuk dalam tanggungjawab pokoknya
seperti juga nafkah wajib. Selain itu, hutang individu perseorangan yang
bersifat jangka pendek harus diselesaikan sebelum pergi menunaikan
haji.
Namun demikian, terdapat perbedaan di antara hutang kepada individu
dengan hutang kepada lembaga keuangan yang berjangka panjang selama
bertahun-tahun malah ada yang mencapai 15 tahun seperti pembiayaan
rumah. Demikian pula, seperti pembiayaan terstruktur kepada perbankan
atau lembaga keuangan, terutamanya bagi mereka yang mengangsur
pembayaran melalui pemotongan gaji. Hutang dari jenis ini tidak
menghalangi kelayakan seseorang untuk menunaikan haji dengan syarat,
kepergiannya untuk melakukan ibadah haji tadi tidak akan menimbulkan
masalah terhadap pembayaran hutang sistematik kepada perbankan tadi.
Jika diyakini kepergiannya ke Mekah, dapat menyebabkan terganggunya
posisi keuangannya sehingga diyakini bisa menghalangi tanggungjawab
wajibnya seperti nafkah, dan hutang wajib kepada perbankan, maka ketika
itu tidak layak baginya untuk menunaikan haji, bahkan kepergiannya dapat
menyebabkan sesuatu yang haram, hal ini karena segala sesuatu yang
diyakini membawa kepada yang haram, maka hukumnya juga haram.
Sebagaimana kaidah fiqih mengatakan : “Apa-apa yang membawa kepada
yang haram, hukumnya adalah haram” (Majma Al-Anhar, 4/251 ; Lihat
perinciannya dalam ‘Ilam Al-Muwaqqi’ien, Ibn Qayyim, 3/137 ). Hal ini
mirip dengan segala bentuk dan jenis yang mendekati kepada zina dalam
ayat La taqrab al-zina. Ayat ini bermakna bahwa bukan hanya zina saja
yang haram, akan tetapi segala bentuk tindakan dan perilaku yang dapat
menyebabkan zina juga adalah haram seperti peluk, cium, kedipan mata,
chating bersyahwat, telepon bersyahwat dan lain-lain. Demikian juga
halnya melakukan ibadah haji dengan keyakinan akan membawa mudharat
kepada kewajiban terhadap pemilik hutang baik dari kalangan individu
ataupun perbankan, maka hukumnya adalah haram.
Syaikh Dr. Abdul Karim bin Abdullah Al-Khudhair juga berpendapat jika
ia berharap mampu untuk melunasi hutang tersebut, dan menurut dugaan
kuat ia memang mampu untuk melunasinya, maka insya Allah tidak mengapa
ia berhutang untuk membiayai ibadah haji. Adapun apabila menurut dugaan
kuat ia tidak mampu melunasi hutang tersebut, maka hukum asalnya ia
tidak wajib melaksanakan haji.semoga bermanfaat yaa teman-teman ...
noviyatul islamiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar